Skip to main content

Halo, Walas

 Halo, Wali Asrama saya semasa SMA.

Baru-baru ini, saya menyadari bahwa saya sudah melupakan banyak hal yang terjadi semasa SMA. Nama bangunan, nama orang, kejadian-kejadian. Saya juga sudah melupakan wajah Ibu. Kata teman saya, saya mestinya tidak melupakan wajah Ibu karena Ibu selalu hadir semasa apel pagi. Namun, sebelum teman saya mengatakan itu, saya sudah lupa kalau kita melaksanakan apel pagi setiap hari sekolah.

Ibu, saya tidak pernah merindukan tempat itu. Tidak seperti kata Ibu, bahkan setelah lulus pun saya masih merasa tempat itu sebagai bagian terburuk dalam hidup saya. Bahkan setelah ingatan saya menghapus sebagian besar kenangan tentang tempat itu. Saya menyesal tidak pernah pergi.

Kata teman saya yang lain, mungkin karena saya tidak menghabiskan banyak waktu di tempat itu maka saya cepat melupakannya. Saya menghabiskan 6 tahun di SD dan 2,5 tahun di SMP, sementara hanya 1,5 tahun di SMA. Namun ketika saya bertemu dengan wajah-wajah teman-teman SD dan SMP saya hanya selama 12 jam sehari, dipotong hari Sabtu dan Minggu, saya rasa 1,5 tahun di SMA berasrama harusnya setidaknya sepadan dengan 2,5 tahun di SMP.

Selama saya hidup, kepala saya memang selalu menghapus memori buruk dari kepala saya, mungkin karena itu saya tetap mengulangi kesalahan yang sama.

Setiap kali saya harus kembali ke tempat itu, meskipun sebagai alumni, di jalan raya itu saya selalu merasa tidak enak badan dan sakit perut. Saya selalu ingat perasaan jelek itu. Namun saya tidak merasa lega dan bahagia bahkan setelah lulus. Saya merasa tempat itu sudah merusak saya, Bu. Dan saya harus berusaha mati-matian agar saya kembali baik-baik saja. Dan saya masih belum baik-baik saja.

Bu, saya harap saya bisa mengulang waktu dan tidak menghabiskan waktu saya menangis di malam hari karena saya masih berada di sana. Saya harap saya bisa menghentikan diri saya dari mencoba masuk ke sana. Mungkin orang tua teman saya benar, ketika kuliah nanti dia akan berpisah dari orang tuanya, maka masa SMA lah tempat dia masih bertemu dengan orang tuanya.

Ibu, tidak ada yang saya banggakan dari pergi bersekolah di sana. Saya tidak memahami apa-apa. Saya lulus dalam keadaan lebih kosong dari ketika saya masuk. Dengan hati yang hampa dan rasa sakit yang muncul sesekali ketika saya hendak tidur.

Saya harap saya tidak pernah bertemu Ibu. Dan saya tidak apa-apa semisalnya saya tidak pernah bertemu teman-teman saya. Saya hanya ingin diri saya di tahun 2019 kembali, Bu. Saya ingin kembali menjadi seorang gadis yang tidak pernah menangis di malam hari dengan isak yang tak terdengar karena hatinya sakit karena sesuatu yang bukan manusia. Yang tidak bisa ia halau. Karena saya melupakan manusia lebih cepat ketimbang sebuah konsep abstrak seperti tempat itu. Saya ingin kembali mendalami minat saya tanpa merasa bersalah, tanpa berhenti di tengah jalan, dan mungkin saya tidak akan bingung ketika harus memilih jurusan karena mimpi saya sudah keburu menghilang di 2020.

Ibu, saya keluar dari tempat itu bagaikan cangkang kosong tak berisi. Dan saya selalu merasa bersalah tiap kali saya mengisi kekosongan itu.

Ibu, saya tidak merasa mendapatkan apa-apa dari tempat itu kecuali pelajaran menulis dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Ibu, lantas mengapa saya masih harus menanggung derita sampai detik ini?


Comments