Skip to main content

A Meeting with Veronica

 Saya tidak pernah dekat maupun setuju dengan Veronica, namun hari ini saya duduk di depannya sambil merundukkan kepala. Hari ini teman saya hanya Veronica.

"Saya hanya meminta pendapatmu karena tiga orang lainnya tidak sedang dalam kondisi yang baik untuk dimintai pendapat," tegas saya. Jemari saya bermain di atas meja.

Veronica menatap saya dengan senyumnya yang manis—saya hampir muntah. "Oke"

Saya mengernyit tidak nyaman. Jemari saya berhenti bermain. Senyuman Veronica tidak lepas dari wajahnya. Hari ini agak lain dari biasanya karena dia tenang—sangat tenang. Veronica yang saya kenal tidak bisa berhenti memberikan pendapat yang tidak diminta.

Tapi kali ini dia menunggu saya bicara. Tatapannya yang 'hangat' itu menyelimuti saya sampai rasanya saya tercekik. Oh, saya tidak menyangka saya harus sampai begini. Saya tidak menyangka hanya dia satu-satunya tempat saya meminta nasehat.

"Ini situasi saya," saya menyodorkan selembar kertas dan Veronica segera mengambilnya. Matanya memindai kata demi kata di dalamnya. Senyumnya tidak pernah lepas. "Menurutmu apa yang harus saya lakukan?"

Veronica meletakkan lembaran kertas itu kembali. Jari telunjuknya menunjuk tulisan 'orang ini haus perhatian' entah disengaja atau tidak. Dia menatap saya. Senyumnya makin lebar. Makin manis. Makin memabukkan. Makin memuakkan.

"Bukankah ada baiknya kamu berikan saja apa maunya? Dia pasti senang" katanya perlahan-lahan, dalam intonasi yang lembut seperti ketika seorang ibu bicara pada bayinya. Namun saya merasa tercekik mendengar jawabannya, tidak mampu menyanggah pendapatnya. Seakan-akan sebuah benang tak terlihat misterius sudah melingkar di leher saya dan setiap gerakan jari telunjuk Veronica yang naik turun di atas dokumen tersebut mengencangkan ikatannya.

"Lagipula," lanjutnya, "sebuah tindakan yang membuat senang orang lain, tidak mungkin menghasilkan dampak yang buruk, kan?"

Saya memucat. Tidak mengatakan apa-apa atas pernyataannya. Tenggorokan saya rasanya tercekat. Menahan ketidaksetujuan saya untuk keluar.

"Kan?" ulang Veronica. Ia mengangkat jarinya dari dokumen. Menggulungnya dengan rapi lalu mengikatkan sebuah pita di sekelilingnya.

Ia tersenyum tipis. Memandang hasil kerjanya untuk beberapa saat. "Karena itu," ia kembali menatap saya yang masih tidak mengatakan apa-apa, "kamu akan memberikan perhatian yang ia inginkan, kan?" ia meletakkan dokumen yang sudah tergulung itu ke genggamanku kemudian menepuk-nepuk punggung tangan saya dua kali, "Karena itu hal yang benar"

Saya memandang gulungan dokumen di tangan saya. Perasaan tidak nyaman sudah dari tadi bertengger di dada saya, membuncah. Kaki saya rasanya dingin sekali, kontras dengan hangat yang terus memancar dari senyum Veronica.

"Apa ada lagi yang mau kamu tanyakan padaku? Ingat, aku akan selalu ada untukmu kalau kamu butuh saran atau bercerita." ujar Veronica dengan manis.

"Tidak" kata saya cepat, memasukkan dokumen tersebut kembali ke tas saya, "Tidak ada. Terima kasih atas saranmu"

"Sama-sama," Veronica mendorong mundur kursinya, senyum masih bertengger, "Meskipun seluruh dunia meninggalkanmu, ingat kalau aku akan terus di sisimu, oke?"

Saya menelan ludah, namun mengangguk. "Iya"

Senyum Veronica melebar, matanya menyipit. "Hati-hati di jalan"

Saya mengangguk lagi kemudian buru-buru meninggalkan Veronica.

Saya harap saya tidak pernah lagi perlu bertemu dengannya.


Comments