Pada Maret 2022, album Manusia Tulus dirilis.
Saya mengingat bagaimana ramainya lagu-lagu dari album tersebut dinyanyikan oleh teman-teman di sekolah, berseliweran di timeline sosial media. Salah dua lagu yang paling ramai diputar adalah ‘Tujuh Belas’ dan ‘Interaksi’, mungkin karena kisah di dalamnya dianggap relatable oleh anak-anak kelas XI yang rata-rata berusia 17 tahun dan punya kisah cinta yang menyedihkan.
Namun, saat itu, fokus saya tertuju pada lagu lain di album tersebut : ‘Diri’.
Hari ini
Kau berdamai dengan dirimu sendiri
Kau maafkan semua salahmu ampuni dirimu
Begitu saya mendengar bait pertama dari lagu tersebut, saya langsung tertegun. Berdamai dan memaafkan diri sendiri adalah hal yang sangat sulit untuk saya lakukan di masa-masa itu. Masa di mana saya mengasihani semua orang yang pernah bertemu dengan saya; mengasihani orang tua saya karena memiliki anak seperti saya (yang, setelah saya berada di mental state yang lebih baik, sebenarnya gak buruk-buruk amat). Jadi, ketika Tulus menyanyikan bait tersebut dengan present tense, sesuatu terjadi pada jiwa saya. Seolah mengamini bahwa “Hari ini kamu sudah mulai berdamai dan memaafkan kamu.”, bukan akan, tapi sudah. Dan itu indah. Bagi saya itu indah.
Bagi saya, ‘Diri’ adalah sebuah lagu yang sangat dekat dengan hati saya. Sebuah melodi yang sudah lama sekali ingin saya dengar. Lagu yang hangat dan menenangkan. Yang mengingatkan saya untuk bangkit dari bencana bernama 2021-2022.
Saya jatuh cinta pada lagu ini.
Lagu, seperti banyak seni lainnya, adalah suatu hal yang personal yang bisa mendapatkan berbagai interpretasi tergantung pada pengonsumsinya. Interpretasi mayoritas adalah hal yang mungkin; tetapi sangat sulit untuk menyamakan pendapat secara holistik. Dan saya lupa akan hal tersebut.
Hari itu saya tengah berinteraksi dengan seorang manusia yang sempat dekat dengan saya— saat itu, orang yang saya anggap sebagai seorang teman—melalui sebuah sosial media. Saya merasa kami berada di sebuah titik yang sama di tahun 2021-2022, titik yang sangat rendah yang membuat kami tidak menyukai diri kami sendiri. Basis solidaritas yang buruk untuk mendekatkan dua orang manusia, namun kami dekat karena hal tersebut.
Saya tidak ingat persis apa yang kita bicarakan sebelum itu, namun saya ingat suasana kala itu tenang tanpa konflik. Di satu titik, saya, yang ingin berbagi hal yang sedang saya senangi, mengatakan kepada manusia ini, “Hei, coba dengar lagu ini, deh”.
Sekali lagi, perlu saya akui bahwa saya tidak cukup mempertimbangkan perspektif seseorang terhadap sebuah lagu bisa berbeda. Tidak saya pertimbangkan bahwa mungkin, lagu tersebut terasa sangat indah bagi saya karena memang yang saya butuhkan saat itu adalah lagu yang menguatkan saya. Lagu yang mengajak saya untuk memaafkan dan mengampuni diri saya, yang mengatakan pada saya bahwa, meskipun saya tidak bisa percaya pada seluruh dunia, saya akan selalu bisa percaya pada diri saya sendiri.
Saya lupa bahwa tidak semua orang seperti itu. Setidaknya manusia ini tidak berpikir seperti itu.
Saat itu, sebagai respon dari tindakan saya meminta dia untuk mendengarkan lagu tersebut, dia memaki saya. Seakan-akan saya baru saja menghina dia dan seluruh garis keturunannya dengan membuat dia mendengarkan lagu tersebut.
Reaksi tersebut tentu tidak saya duga, sehingga saya sangat terkejut. Bagaimana bisa sebuah lagu yang begitu positif, lagu yang belum cukup lama dirilis untuk membuat kamu memiliki memori buruk yang berhubungan dengannya, membuat seseorang begitu tersinggung?
Saya kebingungan, dan cukup sakit hati mendapatkan reaksi seperti itu. Namun dengan keadaan mental yang belum cukup kuat, saya cuma bisa menangis ‘dibentak’ secara luring seperti itu.
Kami tidak bicara lagi selepas itu. Dan untuk beberapa saat, saya tidak bisa mendengarkan ‘Diri’ tanpa mengingat kejadian tersebut.
Luka-luka hilanglah luka
Biar tenteram yang berkuasa
Kau terlalu berharga untuk luka
Bukankah sebuah ironi jika sebuah lagu yang mengatakan bahwa saya terlalu berharga untuk terluka membuka sebuah luka setiap kali saya dengarkan? Itu yang saya dengarkan setelah beberapa lama.
Saya menenteramkan hati selama beberapa saat, membiarkan ‘Diri’ terus berputar meskipun kepala saya memutar kejadian itu berulang kali di kepala saya.
Lagu ini indah, semestinya tidak membuat kamu merasa sakit, kata saya pada diri saya setiap kali.
Hati saya tidak lagi sakit ketika mendengarkan lagu tersebut.
Dari semua hal yang manusia itu lontarkan kepada saya malam itu, satu hal yang saya ingat adalah bagaimana dia merasa tersinggung dan bahwa “Menjadi sedih dan melankolis adalah bagian dari kepribadiannya” dan hal tersebut tidak bisa diubah.
Saat ini, saya memikirkannya kembali dan mengasihaninya. Betapa menyedihkannya memiliki kepribadian permanen yang seperti itu. Apakah mudah tersinggung juga bagian dari kepribadiannya? Dan apakah memaki orang lain yang memiliki maksud yang baik adalah bagian dari kepribadiannya? Apakah sama permanennya dengan ‘sedih dan melankolis’?
Mungkin kesalahan saya yang mengasumsikan bahwa semua orang ingin bangkit dari keterpurukan. Mungkin kesalahan saya yang mengasumsikan bahwa tidak semua orang ingin berhenti bersedih dan mencintai diri saya. Mungkin kesalahan saya karena telah berasumsi hal yang tidak pantas saya asumsikan.
Dan dalam sebuah asumsi terakhir tentang manusia ini yang mungkin sama salahnya, saya berasumsi mungkin manusia ini adalah orang yang senang berada dalam kesedihan, senang mengasihani diri sendiri, dan senang dikasihani. Saya harap asumsi ini salah karena manusia ini jadi terlihat begitu menyedihkan.
Comments
Post a Comment