Keponakanku baru saja mati.
Keponakanku
yang konglomerat luar biasa itu, yang perusahaannya tersebar di seluruh penjuru
dunia. Yang pelit luar biasa sampai tidak ada niat untuk berbagi sepeserpun
uangnya yang berlimpah untuk membayar hutang judiku yang hanya sepeser dari
jumlah gajinya per hari.
Keponakanku
baru saja mati.
Keponakanku
yang ketika mati wajahnya membiru itu, megap-megap dia mencoba mengambil napas.
Matanya memerah dan mengeruh. Sarafnya mengedut seperti saraf sapi yang baru
dikurban sesaat setelah dia minum racun yang aku siapkan dengan tanganku
sendiri.
Huh!
Salah sendiri dia pelit!
Dasar
keponakan tidak tahu diuntung! Sudah bagus dulu saat kecil tidak kucekik hingga
mati padahal hobinya menangis-nangis setiap waktu.
Polisi
mulai menginvestigasi kematiannya yang tidak wajar itu. Tapi oh, biar
saja. Seandainya aku masuk penjara pun, setidaknya aku masih kecipratan
kekayaan warisannya itu.
Atau
tadinya kupikir begitu.
“Mana
ada dapat warisan. Kan dia punya anak laki-laki, mbak” kata seorang polisi
dengan gelak tawa seraya memborgol tanganku.
Moral
of the story?
Mungkin
belajar tentang hukum waris terlebih dahulu sebelum membunuh seseorang?
Atau
jangan membunuh orang dan jangan berhutang.
Bisa
yang mana saja.
Yang jelas, setelah ini, aku terpaksa mendekam di penjara selama 10 tahun tanpa mendapat harta waris sedikitpun.
Comments
Post a Comment