Skip to main content

Probably the Most Absurd Wall of Text You Could Come Across

Aku ingin berlari, menerjang, menerkam. Membenamkan diri dalam kubangan berdarah yang dalam bagai palung. Menghancurkan tembok tinggi yang dibangun orang-orang tidak bertanggungjawab. Menghilangkan jejak sang pendosa dan menghilangkan bayangan dari si cermin. Meraung bagai serigala yang tamak dan melolong seperti singa yang lupa diri.

Aku ingin jatuh dari gedung tinggi, bertemu dengan burung pipit yang terbang menghindar. Mencium udara yang tak pernah enggan masuk dan keluar lagi bagai orang yang ketinggalan barang di rumah. Menemui tanah yang keras dan berdarah. Sebelum bangkit lagi layaknya macan tutul yang sudah lupa cara mati meskipun sudah membaca tutorial berkali-kali.

Aku ingin tenggelam dalam palung Mariana, bertemu kura-kura raksasa yang kini lupa apa makanan yang cocok untuk perutnya. Memakan arang yang kotor bekas buang air paus beluga. Kemudian menenggak madu yang dihasilkan sampah-sampah plastik yang bertebaran di samudera. Lupa apa itu makanan yang benar.

Aku ingin menggali tanah dalam-dalam. Sampai bertemu dengan inti bumi yang panas dan menyakitkan. Menggali terus hingga bertemu jamur seukuran manusia yang sporanya sebesar anak kambing gunung. Kemudian berteman dengan cacing berkaki lima yang setiap kakinya sebesar beruang kutub. Terlalu besar melihat tubuhnya yang kecil.

Aku ingin melayang di ruang angkasa. Barang kali bertemu cenderawasih berbulu kelabu yang mengajakku masuk ke lubang hitam berisi kesengsaraan. Kemudian bertemu ladang jagung yang ditanam pak tani yang tubuhnya sebesar telapak tangan. Sebelum kebun itu kemudian dihancur leburkan oleh angin topan yang menerjang tak kenal belas kasih.

Aku ingin menapakkan kaki ke bulan-bulan Jupiter, berkenalan dengan selingkuhan satelit si Dewa. Kemudian jatuh di antara gas-gas beracun yang dikeluarkan sekarung beras. Mencari jalan keluar yang tak pernah ada.

Aku ingin masuk ke dalam sistem pencernaan siput. Minum teh bersama seekor ayam sakti yang sudah lupa apa itu cacing dan beras. Kini minum anggur langsung dari tampuknya. Mencampurkan kue beras yang terbuat dari kikisan batang pohon apel ke dalam sambal cabai rawit.

Aku ingin masuk ke kehidupan paling absurd. Menebas tanggung jawab dan belenggu yang mengikat kaki. Aku ingin hidup selama yang aku mau. Buku setebal 500 halaman bertengger di atas tunggul kayu tanpa pernah disentuh. Menunggu sang pemilik kembali dari perjalanan panjang menuju kubangan darah, gedung tinggi, palung, dan tanah. Sebelum kecewa lagi karena sang pemilik kini melompat lagi menuju ruang angkasa dan bulan-bulan Jupiter. Tapi dia tetap menunggu dalam penantian panjang yang seakan tak berujung karena kini sang pemilik mulai menandai ekspedisinya yang selanjutnya ke perut siput.

Aku ingin jadi sebesar kutu, melompat-lompat bagai lupa apa itu gravitasi. Menyeruput minuman merah seperti jus tomat yang makin lama makin hitam warnanya. Aku ingin mencoba jadi anak-anak ayam yang baru menetas dari telurnya. Mencari induk untuk diikuti. Atau mungkin, aku ingin mencoba jadi anak angsa yang dibesarkan induk ayam. Barang kali mendapatkan satu atau dua batang cokelat yang dibelikan oleh Pak Beruang.

Aku tidak ingin lupa apa rasanya jadi manusia. Bergelantungan di antara cabang-cabang pohon kemudian memakai mahkota dari kulit ular. Menggaruk-garuk bokong karena barang kali seekor buaya sudah melahirkan di atasnya.

Aku ingin jadi burung yang terbang bebas di angkasa. Tanpa sayap tapinya. Sebebas yang aku bisa. Lupa kalau langit bukan miliknya. Sehingga tidak waspada terhadap pesawat jet yang diterbangkan oleh ubur-ubur tidak bertanggung jawab dari Bumi.

Aku ingin jadi makhluk tidak bertulang belakang. Punya tentakel yang digunakan untuk memotong-motong jemari kaki umbi jahe yang menggeliat. Mencecap sedikit ingus yang keluar dari batang bayam yang dibelah dua, kemudian melanjutkan membuat tempe goreng.

Aku ingin jadi aliran listrik yang mengalir di antara celah-celah bukit. Barangkali bisa menyetrum satu atau dua bawang goreng yang sedang jalan-jalan ke pasar malam, mencari kebahagiaan di bawah bianglala warna-warni.

Aku ingin jadi kabel listrik warna hitam. Bertanya-tanya mengapa warnaku hitam dan tidak hijau biru seperti alga. Bertanya-tanya mengapa seekor burung bangau tidak bisa makan bubur ketan hitam dan mengapa seekor panda tidak suka mencicip tahu isi. Mempertanyakan pertanyaan paling absurd dan seketika teringat kalau burung pelikan tidak tahu cara memesan tiket penerbangan menuju Brazil.

Aku ingin jadi kangguru tanpa kantung. Lantas kawananku membelikan kereta bayi yang dijual platipus di pasar gelap biar bayi-bayi itu punya tempat untuk tidur. Memasangkan satu atau dua jemari milik hiu putih ke pintu rumah. Menanamkannya juga ke tanah berharap hiu putih baru akan tumbuh dari dalam tanah.

Aku ingin jadi minuman warna oranye yang bergejolak dalam tangki. Ditaburi satu atau dua serbuk warna biru berharap warnaku nantinya akan jadi hijau. Lalu setelah benar-benar jadi hijau, muncul pertanyaan lagi. Tapi semuanya enggan menjawab sehingga gorila tua itu kini cemberut dan memutuskan untuk senam di atas lemari.

Aku ingin jadi pai apel yang rasanya seperti bolu pandan. Mengundang ular sawah yang lapar tapi lupa tidak punya tangan untuk memegang sendok. Kemudian dipinjamkan kepadanya tangan-tangan pohon beringin agar bisa dia memakan pai apel yang keburu dimakan sang rembulan.

Aku ingin menjadi pembasmi iblis, memegang senjata panjang berisi mantra-mantra yang malah mendekatkan diriku pada iblis. Kemudian karena lupa arah berbalik ke warteg dan memesan jamur amanita rebus kepada Bu Badak yang dengan cekatan memasukkan dua atau tiga lobster hidup ke dalam pesananku.

Aku ingin hidup dalam kehidupan paling absurd tanpa tanggung jawab. Berlomba bersama angin untuk menjatuhkan pohon apel dari apel yang kini jadi akarnya. Kemudian setelah selesai berlomba kita pergi ke Surabaya, memakan seblak buatan orang Palembang yang membuatnya dengan bulu ikan arwana yang sudah dikeringkan dengan es batu.

Aku ingin bersatu dengan kehidupan bagai sperma yang bertemu sel telur. Berenang dalam kolam asam yang lengket seperti air sumur. Menjadi ubur-ubur yang lupa cara metagenesis dan memutuskan untuk membelah diri. Menjadi lintah yang lupa cara jadi jantan atau betina sepenuhnya, sehingga kini diam mencoba program bayi tabung.

Aku ingin jadi semua yang ada dan tiada. Mengalami semua yang mungkin dan tidak mungkin. Aku ingin hidup selama yang aku mau, menggantung bintang di langit yang kini sudah keburu penuh dan tidak ada yang mau repot-repot membersihkannya karena tidak ada gunanya.

Aku ingin jadi raja di kerajaan antah berantah dan memelihara telur unta yang dikira akan melahirkan burung unta tapi malah sapu yang keluar dari dalamnya setelah menetas. Jadilah sapu itu dipakai untuk membersihkan angkasa yang ternyata sudah keburu bersih karena komet Halley mampir lagi.

Aku ingin jadi ratu lebah paling besar yang mengeluarkan telur sebesar telur dinosaurus. Lalu setelahnya melayang-layang tak mau tahu ketika yang keluar memang dinosaurus.

Aku ingin jadi warna abu-abu dan warna hijau neon sekaligus. Seperti racun rasa stroberi yang lupa dimasukkan ke makanan target. Berakhir basi dan menjadi pupuk yang menghidupkan kembali kebun jagung milik pak tani yang ukurannya sebesar kepalan tangan.

Aku ingin hidup, lalu mati, lalu hidup lagi bersama kobaran api seperti legenda Monster Loch Ness yang paling konyol.

Aku ingin jadi penyanyi paling terkenal. Menulis jurnal kehidupan seorang anak terlantar tanpa prestasi selain sukses bertahan hidup. Mempublikasikan hasil tulisanku lewat radio jadul yang hampir tak ada lagi yang punya.

Aku ingin hidup selama yang aku mau. Kemudian mati ketika siap menyambut. Kemudian akan kusiapkan dua atau tiga stoples Khong Guan berisi peralatan jahit tanpa meminta maaf dan membiarkan tamuku memakan peralatan jahit itu.

Aku ingin jadi semua yang pernah ada dan semua yang tidak pernah ada sebelumnya. Aku ingin jadi jam yang deringnya seperti tangisan laut dan kerang. Membawa rindu dan tangis. Membawa pulang apa yang hilang dan merebut apa yang digenggam.

Kemudian ketika aku mati, aku dikenal sebagai ‘Semuanya’. Dan di atas kuburku tumbuh bunga warna-warni yang aromanya bagai aroma terapi. Ketika hujan turun, bertambah banyak bunga yang mekar. Menjadikan kuburku kubur paling indah di antara semua kubur yang pernah ada.

Aku ingin tidur tanpa diganggu, dan bangun ketika aku mau. Kecuali kamu tengah memasak spageti dan berencana untuk membaginya, maka jangan bangunkan aku! Karena aku akan bangun ketika aku tidak lagi enggan. Karena hidupku sudah dirasa cukup memuaskan. Karena aku sudah berkenalan dengan semua yang ada di muka bumi. Karena semua buku sudah kubaca kecuali buku 500 halaman itu. Karena aku sudah bisa mengenali tiap tetes hujan yang jatuh ke bumi. Karena aku sudah tahu ada berapa butir pasir yang ada di pantai. Karena aku sudah bisa memberitahukan kepadamu dengan pasti ada berapa bintang yang bertebar di langit dan tanggal kapan dia lahir.

Dan jangan bangunkan aku! Kecuali alam lagi-lagi menyuruhku menghitung ada berapa buah biji jagung yang masuk ke dalam perut siput. Karena aku tidak tahu! Aku belum tahu dan enggan untuk menghitungnya. Tapi kalau semisalnya pak tani tua itu merengut dan memohonkan kepadaku untuk menghitungnya, maka apa mau dikata! Akan bangkit aku dari kubur, diangkat akar tanaman yang indah. Dengan fisik yang sama indahnya seperti detik di mana seorang bayi lahir ke dunia. Dan akan kuhitung ada berapa banyak biji jagung dalam siput sialan itu.

Tapi jangan tuntut aku akan itu seakan aku sudah akan bersumpah melakukannya. Karena aku bukan mesin pencetak kertas yang kamu gunakan untuk mencetak surat kabar yang sudah ketara tuanya itu. Karena aku bukan kakimu yang harus menuruti apa maumu dan aku bukan pensil yang harus mengikuti apa perintahmu. Aku sesuatu yang bebas dan tanpa tanggung jawab. Hidup semauku dan mati semauku. Maka janganlah kau tunggu-tunggu matiku hanya karena kamu berharap aku lebih mudah disuruh ketika sudah bangkit lagi.

Alih-alih, larilah kamu, terjanglah apa pun yang ada di depanmu, dan terkamlah apa yang menghalangi jalanmu. Dan cobalah menenggelamkan diri dalam kubangan darah. Barang kali akanlah kamu tahu apa rasanya bebas.

Tapi kalau kamu tidak mau, maka tidak usahlah begitu. Karena untuk mengenal kebebasan adalah melakukan apa yang kamu inginkan dan bertindak sesuka hati. Karena itu adalah kebebasan ideal bagiku, barang kali bukan itu yang ideal untukmu.

Atau mungkin, janganlah kau dengar kata-kataku karena semua yang kukatakan dimulai dengan kata ‘ingin’ hampir di awal semua kalimat. Lari saja. Jauhkan dirimu dariku. Dan gapai apa yang kamu inginkan. Karena kamu tidak bisa hidup sepanjang yang kamu mau dan mati kapan pun kamu mau. Karena jarum jam itu kini dengan licik menunggu-nunggu waktu matimu. Mencoretmu dari daftar orang-orang hidup yang gagal meraih mimpi sampai mati.

Dan jangan biarkan jarum jam itu tertawa karena lalaimu! Buat dia menangis tersedu-sedu karena, meskipun kamu kini sudah bertemu tanah, sudah tercapai cita-citamu. Dan tak bisa dia coret namamu.


06.03.2021

Comments