Skip to main content

Aku Terbangun.

 Aku terbangun. Lantai dingin menjadi alas tubuhku. Membuatku bertanya-tanya mengapa bisa aku berada di sini.

Aku memegang dadaku. Rasanya sakit. Tapi aku tidak bisa mengingat apa yang sebelumnya terjadi terhadapnya.

Aku bangkit. Ruangan itu hitam pekat, tapi tidak gelap. Seakan tak berujung dan tanpa sumber cahaya. Tak ada bayangan terbentuk di lantai tempatku berdiri. Lantai yang seakan tak juga menapak ke Bumi.

Satu kata muncul di kepalaku. Mengerikan.

Ruangan itu sunyi tanpa suara. Mau sekeras apa pun aku menginjakkan kaki ke dasar, tak ada suara terdengar. Desir darah yang mengalir di leherku sekarang terasa lebih dekat dari sebelumnya. Bagai sungai di belakang rumah yang mengalir deras ketika hujan badai menerjang.

Aku tidak suka mendengarnya.

Degup jantung yang rasanya kelewat tenang berdentum di dadaku. Tidak sinkron dengan kepalaku yang terus bertanya-tanya dan bulu kudukku yang meremang selama berjalan di tempat itu. Seakan-akan jantung itu sudah mengenal tempat yang tak bisa diidentifikasi otakku. Sebuah tempat kosong hampa.

Aku tidak tahu kakiku melangkah ke mana.

Aku juga tidak tahu sebenarnya sudah seberapa jauh aku melangkah.

Setiap langkah kakiku membawaku ke tempat yang tetap kosong dan tetap hitam. Tetap lengang dan menyesakkan dada di saat yang sama. Seakan-akan aku seorang manusia dengan klaustrofobia yang diperangkap dalam kotak sempit yang hanya cukup untuk manusia yang sedang membungkuk dalam jongkoknya.

Tanganku mencoba meraba dinding. Tapi dinding itu tidak ada. Bahkan ketika tanganku mencoba memegang lantai tempat kakiku berpijak, tak ada yang dijumpainya. Seakan-akan aku berjalan di atas lantai gaib.

Aku bertanya-tanya, tapi penasaran di saat yang sama. Rasa penasaran yang mungkin saja akan membuatku masuk ke dalam lubang buaya hanya karena ingin tahu seperti apa kulit anak buaya kalau dipegang.

Aku sendirian.

Itu satu hal yang aku sadari setelah beberapa menit (kurasa) berjalan tanpa tujuan.

Pengetahuan itu membuatku merasa makin takut dan lega di saat yang sama. Rasanya seperti diberitahu bahwa makananku diberi racun yang akan membunuhku tanpa rasa sakit ketika aku sudah muak kepada dunia. Rasa puas yang semestinya tidak kurasakan.

Tapi rasa puas itu tidak lama kurasakan. Kakiku tersandung sesuatu. Sesuatu yang tergeletak di lantai tembus itu.

Aku menatap benda itu selama beberapa saat. Tubuh manusia.

Aku membalik badannya. Kepalaku mendiktekan kepadaku bahwa aku harus merasa takut. Ngeri. Seram. Tapi jantungku berdegup sama tenangnya. Seakan mati rasa dengan pemandangan mengerikan bahwa yang kusandung tadi manusia. Dan setelah kuperiksa nafasnya sudah tidak ada.

Aku diam memandang tubuh itu. Membuat flowchart dalam kepala untuk menentukan apa yang harus kulakukan terhadapnya.

Flowchart itu berakhir pada satu kesimpulan. Aku harus meninggalkan saja tubuh itu.

Ini tidak seperti aku tahu ke mana harus melangkah. Membawa tubuh manusia bersamaku itu ide yang buruk dan menguras tenaga saja.

Dasar pembohong, ejekku pada diri sendiri. Tenaga itu sesuatu yang seakan-akan tidak eksis saat ini. Lihat bagaimana aku sudah berjalan berjam-jam tapi nafasku masih tenang dan paru-paruku masih bernapas normal. Tapi aku tidak mau repot menyusahkan diri membawa tubuh itu. Menguras tenaga hanya alasan belaka.

Aku melanjutkan langkahku. Meninggalkan badan itu hanya untuk tersandung lagi dengan tubuh yang lain. Tubuh yang sama matinya.

Tangannya menggenggam dadanya seakan-akan menahan sakit. Wajahnya mengerut kesakitan. Tapi dia sudah mati. Sepertinya sakit itu yang merenggut nyawanya.

Aku tidak perlu repot-repot membuat flowchart baru dalam kepalaku. Tindakanku langsung melompat ke keputusan yang sama dengan sebelumnya. Meninggalkan badan itu.

Tapi keputusanku nampaknya tidak disukai. Setelahnya aku terus tersandung tubuh-tubuh yang bergelimpangan sepanjang jalanku. Beberapa seperti menangis memohon pertolongan, yang lain wajahnya kosong, dan yang lain tampak murka dalam kematiannya.

Aku lelah. Hingga lama-lama aku muak juga dan memutuskan tidak mau membuang waktu untuk mengecek apa yang mengganggu jalanku. Tubuh-tubuh itu kuinjak saja sampai kudengar ada yang tulangnya patah terinjak kakiku. Oh, biar saja! Itu balasannya karena mengganggu jalanku!

Usai berapa lama, lautan penuh tubuh itu mulai berkurang dan akhirnya tak ada satu pun tubuh mengganggu jalanku.

Aku bernapas lega. Akhirnya jalan-jalan tanpa gangguanku kembali juga.

Baru berpikir begitu, mataku menangkap sesosok figur berdiri menatapku. Dia berdiri tepat berseberangan dengan tempatku berdiri.

Dan ketika pandangan kami bertemu, jantungku yang terus tenang selama melihat pemandangan mengerikan itu mendadak degupnya makin kencang. Darahku turun ke kaki. Wajahku pasti pucat saat ini. Dan kepalaku tidak tahu apa sebabnya. Seakan-akan jantung itu tahu dan takut pada orang yang ada di hadapanku.

Sosok itu kecil. Seorang anak-anak malah. Aku bisa melihat bahwa dia masih bernapas.

Matanya memandangku.

Pandangannya tidak menghakimi maupun takut. Dia juga tidak tampak menyambut kehadiranku. Mulutnya terkatup, matanya melihatku tegar dengan kekecewaan yang membuat dadaku rasanya ditembus setombak es yang panjang. Kini jantungku benar-benar ketakutan.

Dia tidak bicara dan tidak bergerak. Pandangannya tidak lepas dari wajahku, dan pandanganku juga tidak bisa lepas dari kedua matanya tak peduli seberapa takut jantungku terhadapnya.

Tapi otakku tenang. Pikiran gelisahnya hilang ketika mataku bertemu dengannya. Seakan-akan anak itu adalah bencana bagi jantungku dan berkah bagi kepalaku.

“Kenapa?” anak itu bertanya. Hanya sebuah pertanyaan sederhana yang membuatku hampir terlempar jauh karena setiap suku katanya menghantam dadaku.

Aku tidak mengerti apa maksud pertanyaannya. Tapi aku merasa seperti seorang pembunuh yang ketahuan setelah merencanakan pembunuhan dengan sempurna dan teliti. Keringatku yang tak pernah keluar dari tadi kini membanjiri tubuhku. Jantungku hampir meledak di balik tulang-tulang yang menutupinya.

Anak itu seakan menunggu jawabanku. Dia kukuh menungguku membuka mulut.

“Apanya?” akhirnya aku menjawab, tidak kuat menahan menatap kedua matanya.

Kini kedua matanya tidak hanya memancarkan kekecewaan, tapi juga kasihan. Seakan-akan dia mengasihaniku yang tidak paham apa pun meskipun rasa takut menjalari tengkukku. Mengasihaniku yang ketakutan setengah mati tanpa tahu apa alasannya.

“Kenapa kamu membunuh mereka?” dia menatap jauh ke belakangku. Ke tempat mayat-mayat tadi bergelimpangan.

Apa?

Mereka sudah mati dari tadi!

“Tidak.” Anak itu menggeleng, seakan tahu apa yang ada di kepalaku, “Mereka tadinya hidup. Kamu yang tidak mau mengakui keberadaan mereka akhirnya membunuh mereka.”

Aku mengerutkan kening.

Oh. Ternyata dia tahu.

Apa?

Sebuah suara menggema dalam kepalaku. Apanya yang tahu—?

Aku mengepalkan tangan. Menemukan sesuatu berada dalam genggamanku.

Sebuah pisau.

Aku menatap anak itu, yang menatapku balik dengan tenang.

“Kau mau membunuhku juga?”

Dia bertanya dengan nada mengasihani.

Aku tidak menjawab. Aku juga tidak tahu.

“...Begitu.”

Dia mendengus. Tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya meskipun kedua kakiku sudah melompat dari tempat pijakannya tadi.

Aku tidak mengerti mengapa. Aku juga tidak mengerti apa yang terjadi sampai tubuhku bereaksi sebegini anehnya terhadapnya. Aku juga tidak tahu mengapa aku melompat, menghunuskan mata pisau terhadap anak itu.

Ia bahkan tidak berkedip ketika wajah kami sangat dekat. Sampai-sampai bisa kulihat bayangan wajahku dari mata hitamnya yang besar mengkilat itu.

Oh.

Aku melompat mundur. Kini benar-benar ngeri.

Di kepalaku terputar wajah-wajah mayat yang bergelimpangan tadi. Kemudian wajah anak itu. Kemudian wajah yang terpantul dari matanya.

Dia menatapku sedih.

“Sekarang kamu sudah membunuh satu lagi.” katanya prihatin.

Aku membelalak. Melihat bagaimana tanganku sendiri berlumur darah. Pisau menancap ke tempat di mana jantungku terletak.

“Berapa kali kita harus mengulang sampai kamu sadar?” dia menelengkan kepala. Menggelengkan kepalanya.

Dia berjalan ke arahku yang terduduk tak berdaya. Jantungku masih bereaksi terhadapnya. Membuat sakit dadaku yang sudah kesakitan.

Tangan kecilnya mengulur, menarik keluar pisau yang tertancap di dadaku.

“Akui keberadaan mereka.”

Bersama dengan tangannya yang ditarik, sesuatu membuncah dari dadaku. Mengaburkan pandanganku dari wajah anak itu dengan aura warna-warni. Telingaku berdenging tapi juga berisik.

Telingaku sakit mendengar alunan musik yang meneriakkan berbagai perasaan yang tadinya dikunci rapat oleh dadaku. Menyerukan ketidakberdayaan dan keinginan untuk bersandar. Menjeritkan kesakitan mendalam dan dukacita yang tak pernah punya waktu untuk keluar sebelumnya.

Rasanya sakit. Bagian kiri tubuhku serasa dihujam ribuan jarum tiap telingaku mendengar seruan-seruan itu. Menjerit aku tak mampu menahan perih. Tapi kepalaku tenang. Seakan dia akhirnya menemukan apa yang sudah lama menghilang dari dirinya.

Aku menggelepar seperti ikan yang dikeluarkan dari air. Lalu semuanya hitam pekat dan suara-suara itu menghilang...

 

Kemudian,

Aku terbangun. Lantai dingin menjadi alas tubuhku.

Aku memegang dadaku. Rasanya sakit.

Tapi entah mengapa...

Aku tidak bisa mengingat apa yang sebelumnya terjadi terhadapnya.

 

04.05.2021

Comments