"Ayo bawa payungnya. Akhir-akhir ini sore hari hujan,” ujarku. Menawarkan payung yang tersedia di kelas. Wali kelas kami memang bermurah hati menyediakan 3 buah payung untuk anak-anak yang lupa bawa payung di kelasnya. Aku bawa payung sendiri, tapi kulihat anak ini tidak membawa payung di tasnya. Lantas kutawarkan saja payung pinjaman wali kelas kami itu.
Dia menatapku sejenak, kemudian menatap ke langit selama beberapa saat, dan menolak tawaranku, “Tidak akan hujan,” ucapnya, kemudian berlalu pulang.
“Eh?”
Langit jelas-jelas kelabu. Jadi aku heran saja mengapa dia sok tahu sekali bilang kalau hujan tidak akan turun. Tapi bahkan sampai malam turun hari itu, tak setetespun air turun dari langit.
Heran. Tapi kadang-kadang cuaca memang tidak bisa diprediksi.
Keesokan harinya, ketika beranjak pulang, aku menotis segulung payung di tangannya. Padahal langit sore itu lumayan cerah.
“Hari ini kamu bawa payung?” tanyaku, “Kurasa hari ini tidak akan hujan. Langitnya cerah sekali,”
Dia melirikku, tidak mengatakan apa-apa sampai rasanya jadi tidak enak.
“Y-yah, tapi bagus kok, menyediakan payung. Kan kita tidak tahu kapan hujan akan turun.” kataku cepat-cepat, “Aku juga bawa payung, kok. Nih,” aku menunjukkan payung yang ada di kantong kiri tasku.
Lalu berakhirlah percakapan kita karena temanku memanggilku untuk pulang bersama. Lantas kuucapkan selamat tinggal buru-buru kepadanya dan bergabung dengan teman-temanku.
Sore itu aku dan teman-teman hendak ke mall membeli beberapa barang. Perjalanan dari sekolah kami ke mall hanya sekitar 30 menit jalan kaki, cukup dekat.
Dan begitu kami sampai ke mall, hujan mengguyur bumi.
Teman-temanku mengucap syukur karena timing yang tepat. Namun aku terdiam menyadari kalau hujan memang turun dan dia membawa payung di saat yang tepat.
Hujan segera berhenti sekitar 2 jam kemudian, hanya sekitar 15 menit setelah urusan kami di mall selesai. Tapi sekiranya kala itu aku tidak pergi ke mall dulu, pastilah aku basah kuyup ketika pulang ke rumah tanpa payung.
Besok, lusa, minggu depan, terus begitu. Bagai penjudi paling jago, tiap kali dia membawa payung, pasti hujan. Tiap kali dia tidak bawa, pasti tidak hujan.
Hari itu kebetulan aku lupa bawa payung. Kemarin harinya kupakai ketika ibu menyuruhku membeli bawang di warung, lalu kukeringkan dan lupa kumasukkan.
Baru sadar terlupakan ketika sudah sampai sekolah. Ya sudahlah, barangkali aku akan meminjam payung milik wali kelasku ketika pulang nanti.
Sialnya bagiku, rupanya payung-payung itu sudah diambil semua ketika mau kupinjam. Aku speechless. Tidak tahu mau bicara apa melihat nasib yang menantiku nanti.
Lantas, buru-buru kulirik tas si pemenang lotere menebak-cuaca berturut-turut itu. Bernapas legalah aku ketika melihat tidak ada payung bertengger di tasnya.
Sebenarnya lebih aman sekiranya aku menumpang payung dengan temanku yang lain. Sayangnya, tidak seorangpun dari mereka searah denganku. Jadi aku hanya bisa harap harap cemas, berharap ‘prediksi’nya benar.
Di jalan pulang, kebetulan aku berpapasan dengannya di halte bus. Eh? Apa barang kali sebenarnya rumah kita searah?
“Hei, kamu naik bus?” kataku, menghampirinya.
Dia menggeleng, “Jalan kaki,”
“Eh?
Tapi kenapa kamu di sini? Menunggu seseorang kah?”
“Tidak. Sebentar lagi hujan turun. Tidak ada tempat berteduh lagi selain ini, nanti”
“Huh?”
Daritadi
aku bolak-balik menatap langit. Dan memang mendung…
Tik
tik tik.
Gerimis
sungguhan turun. Kemudian tak menunggu 5 menit, gerimis itu berubah jadi hujan.
“Ah,
sial!”
“Kamu
tidak bawa payung?”
“Tidak—kelupaan.”
jawabku, masih mengumpati cuaca, “Kamu sendiri kenapa tidak bawa payung?
Biasanya tiap kamu bawa payung pasti hujan,”
Dia
menatapku sejenak. Apa sih? Ini hobinya, ya? Menatap orang sebentar-sebentar
sebelum menjawab?
“Perasaan
langit tiba-tiba jadi buruk,”
“Ha
apa?”
“Tadi
pagi langit baik-baik saja lalu tadi siang mendadak buruk,” dia menunduk,
“Tiba-tiba dia sedih,”
Aku
mengernyitkan dahi. Tidak paham. Tapi mengangguk-angguk saja.
“Sebentar
lagi juga reda,” katanya pelan.
Aku
percaya saja dengan ucapannya kalau begitu.
Begitu hujan berhenti—memang tidak lama rupanya—aku segera pamit dengannya, melangkah di trotoar basah.
Tamat
10.04.2020
Comments
Post a Comment