Tahun ini, saya belajar banyak hal. Tentang diri saya, tentang orang lain, tentang kesabaran, dan tentang kehilangan.
Tahun 2020 adalah tahun di mana seluruh rencana saya kacau berantakan. Banyak sekali rencana yang ingin saya laksanakan dengan teman-teman saya buyar begitu saja ketika bencana besar datang bagaikan mimpi buruk menjadi nyata.
Tahun 2020 adalah tahun di mana saya menghargai semuanya.
Saya menghargai tenaga medis yang berjuang di garis terdepan, mempertaruhkan nyawa, melaksanakan sumpah yang diucapkan sebagai dokter.
Saya menghargai teman-teman saya yang merupakan salah satu sandaran, tempat saya bersandar ketika saya tidak tahu ke mana lagi saya harus mencari penopang.
Saya menghargai kurir yang mau mengantarkan paket dan pesanan ke rumah.
Saya menghargai orang tua saya yang berusaha mencukupi kebutuhan selama berada dalam lockdown.
Saya menghargai guru-guru saya, yang masih berusaha memberikan ilmu meskipun berada di balik layar laptop.
Saya juga menghargai orang asing yang memberikan semangat kepada satu sama lain, meskipun sesungguhnya mereka tak saling mengenal di dunia nyata.
Saya juga,
Menghargai diri saya sendiri.
Saya mulai menghargai diri saya sendiri yang selama ini tidak pernah saya hargai. Yang selama ini tidak pernah saya puji hasil karya dan kerja kerasnya. Yang selama ini saya acuhkan kesehatannya. Yang selama ini saya maki-maki ketika tidak dapat mendapatkan apa yang saya inginkan.
Saya kini menghargai diri saya sendiri.
Saya menghargai tawa yang keluar dari mulutnya, saya hargai tangis yang mengalir di pipinya, dan saya hargai sakit yang bergejolak di hatinya.
Saya belajar banyak dari 2020.
Tahun yang penuh kehilangan dan duka lara.
Tahun di mana saya tidak bisa memaki dan menyalahkan siapa pun atas keadaan.
Tahun di mana, jika saya mau melindungi keluarga saya, maka tidaklah saya pulang ke kampung halaman.
Meskipun saya rindu sekali kepadanya.
Saya rindu menghirup udaranya, saya rindu suara kaki nenek saya melangkah di lantai ruang tengah sebelum akhirnya duduk di kursi, dan mendengarkan televisi sambil menjahit.
Saya rindu masakan Bunda saya, yang meskipun harus melihat buku resep, dengan bangga menyuguhkan masakannya kepada keponakan-keponakannya yang datang ke rumah.
Saya rindu bermain dengan sepupu saya. Berlarian di halaman rumah yang di depannya terhampar rumput gajah mini. Kami tidak sedekat itu, tapi di malam lebaran, keluarlah kami dari rumah nenek, menyalakan kembang api dan tertawa melihat apinya menyala hingga akhirnya padam karena sumbunya sudah terbakar semua.
Saya rindu pergi ke rumah gadang keluarga kami. Menginjak lantainya yang terbuat dari kayu dengan hati-hati lantaran takut terpeleset. Memakan kue lebaran yang dipersiapkan oleh saudara nenek kami, lalu lari menuju kolam, barang kali mendapat satu atau dua ikan untuk dibawa pula ke rumah nenek, lalu disantap bersama-sama setelah dimasak.
Saya rindu pergi ke Harau bersama nenek dan sepupu-sepupu saya. Terhantamlah batu oleh air yang terjun dari atas. Terdengar seru anak kecil bermain air dengan riang bersama saudaranya. Setelah puas bermain, naiklah anak-anak tersebut dari luar air, menghangatkan diri dengan mi gelas yang dibelikan orang tuanya.
Yang kami lakukan di rumah nenek tidak semata-mata seru dan mengasyikkan. Ada hari-hari membosankan yang saya habiskan dengan mengeluarkan setumpukan majalah yang sudah selesai saya khatamkan sampai habis semua koleksi yang ada di rumah sejak saya kelas 6 SD lantaran sepupu saya sudah berhenti berlangganan majalah tersebut. Namun untuk menghalau kebosanan, majalah-majalah itu saya baca ulang satu persatu, kini bersebelahan dengan sepupu saya yang kala itu paling muda, yang senyumnya manis melihat kakak-kakak sepupunya yang jarak umurnya jauh sekali dengannya.
Dan tak lekanglah rindu dibawa pasrah. Kacau sudah berantakan rencana pulang kampung yang sudah direncanakan sejak tahun lalu. Saya yang sudah rindu pulang sejak Ramadhan tahun lalu, tahun ini pun gagal melepas rindu lantaran imbauan tinggal di rumah.
Tak bisalah saya salahkan siapa pun kecuali keadaan. Yang tidak bisa saya marahi atau maki. Yang tak memberikan pilihan apa pun kecuali pasrah dan berdoa semoga bencana cepat berlalu.
Dan pada tahun 2020 pulalah, saya makin hargai teman-teman saya yang selama ini sudah saya junjung tinggi-tinggi.
Kami punya rencana besar untuk tahun ini sejak akhir semester 2019 lalu. Kami berencana menghabiskan Ramadhan dengan, untuk pertama kalinya, menginjakkan kaki di Perpustakaan Nasional, haus membaca dan haus ilmu. Mencari peninggalan bapak bangsa yang kami harapkan tersimpan di perpustakaan 24 lantai tersebut.
Berencanalah kami kala itu melepas stres yang disebabkan Ujian Nasional dengan jalan-jalan bersama, barang kali mengunjungi satu atau dua museum di Ibu Kota. Tidak usah seangkatan, cukup bersama teman dekat saja.
Kami juga berencana membuat boneka atau gantungan kunci untuk kepala sekolah kami tercinta (perlulah bagi Anda untuk mengetahui kalau kalimat ini adalah sebuah sarkasme). Apakah akan diterima atau tidak, itu urusan beliau, namun kami berencana mempersembahkan sesuatu kepada kepala sekolah kami tersebut di perpisahan sekolah yang akan dilaksanakan di Bulan Juni nanti.
Namun akhirnya, tak hanya Ujian Nasional 2020 dan perpisahan sekolah yang gagal dilaksanakan, namun rencana-rencana yang sudah kami susun sedemikian rupa sebelumnya.
Saya juga berencana untuk mengajak teman-teman dekat saya saat SD untuk buka bersama di Ramadhan 2020. Lantaran terakhir kali kami bertemu adalah ketika menonton Spider-man : Far from Home di bioskop, dan itu pun salah pesan karena rupanya salah satu teman saya sudah menonton film tersebut.
Waktu itu kami cuma bertiga, karena kami kehilangan kontak dengan seorang teman kami yang lain, sementara yang satu lagi tidak diperbolehkan sekolahnya untuk menonton di bioskop, entah mengapa.
Rencana buka bersama itu untuk mengisi kekurangan kala itu. Namun apalah daya, bisa keluar rumah pun tidak kami di Ramadhan 2020.
2020 mengajarkan saya untuk bersabar.
Bersabar terhadap keadaan, bersabar terhadap kemalangan, bersabar terhadap orang lain, dan bersabar terhadap kehilangan.
2020 mengajarkan saya untuk menghargai apa yang sebelumnya tidak pernah saya hargai. Saya hargai percakapan tatap muka dengan orang lain, saya hargai jalan-jalan keluarga yang kini sulit didapatkan, saya barang-barang yang sejak pandemi harganya lantas melonjak naik.
Saya hargai kebersamaan.
2020 mungkin bukan tahun terbaik yang pernah saya lalui, namun 2020 adalah tahun yang menjadi guru bagi saya, yang mengajarkan ratusan hal yang tidak pernah saya coba pelajari sebelum ia datang.
2020 mengajarkan saya untuk terus mengeksplor diri saya, mengajarkan untuk merendahkan hati namun tidak merendahkan diri. Mengajarkan saya untuk bangkit ketika jatuh. Mengajarkan saya potensi yang tidak akan saya gali sekiranya 2020 tidak pernah terjadi.
2020 mengajarkan saya dengan rasa sakit dan tangisan berdarah. Namun pada akhirnya, di akhir tahun, saya menyadari bahwa 2020 adalah pelajaran besar yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia. Perjalanan tentang luka dan menghargai, pelajaran tentang bersabar dan tabah.
Karena kadang-kadang manusia lupa cara untuk melakukan hal-hal tersebut. Dan 2020 haruslah hadir sebagai pengingat.
Selamat tinggal 2020, terima kasih atas segalanya.
Comments
Post a Comment