Di bawah sorotan jingga lampu jalanan, Sang Kucing Hitam melangkah. Di bawah langit malam yang gelap, di mana awan amat keras kepala ingin menghalangi terlihatnya bulan dari Bumi, Sang Kucing Hitam berjalan sendirian di trotoar yang sepi. Tubuhnya kadang menghilang tertelan gelapnya malam karena jarak antara lampu jalan satu dengan yang lain cukup lebar. Namun dia masih di sana, berjalan di sepanjang trotoar yang membentang di depan toko-toko yang telah tutup.
Kakinya terasa perih karena luka-setengah-sembuh yang ada di betisnya tersiram peluh selama ia berjalan. Tapi dia tidak mau berhenti. Ia ingin pergi sejauh-jauhnya dari tempat terkutuk itu.
Ia menggigit bibir bawahnya demi menahan perasaan perih yang makin menjadi-jadi di tubuh bagian bawahnya. Kalau begini terus lama-lama bibirnya juga akan berdarah.
Sang Kucing Hitam meringis. Punggungnya lecet karena cambukan, dan punggung yang sama itu memohon kepada Si Kucing Hitam untuk berhenti.
Tidak mau. Kucing Hitam keras kepala ini tak akan pernah berhenti kecuali badan ringkihnya itu benar-benar sama sekali tak bisa lagi diajak bekerja sama.
Di telinganya terngiang suara iblis gila itu ketika memecutnya. Pembawa sial. Kucing hitam pembawa sial. Mau berapa kali pun ia memohon pada Si Iblis untuk berhenti, makhluk menjijikkan itu tak akan memperlembut siksaannya barang sedikit pun. Jadi sia-sia saja memohon. Entah sejak kapan ia berhenti berharap permohonannya dikabulkan dan membiarkan tubuh ringkihnya disiksa.
Tiap hari ia hanya bisa makan hati melihat anak sebayanya berangkat sekolah, tanpa luka basah di seluruh bagian tubuh mereka. Tiap sore ia meringkuk menggigil ketakutan di sudut rumah. Berharap Si Iblis mati sebelum dapat pulang ke rumah.
Oh Tuhan. Dia bukan samsak tinju. Tapi mengapa ia diperlakukan seperti samsak?
Selagi Sang Kucing Hitam itu mengasihani diri, seorang pegawai kantoran berjalan melaluinya. Menghela napas lelah selagi berjalan.
Detak jantung Sang Kucing Hitam mendadak berdetak kencang tak karuan. Rasa takut membanjiri tubuhnya. Badannya gemetar. Keringat dingin keluar dari seluruh pori tubuhnya.
Seperti disambar petir, ia lontarkan permohonan maaf kepada sang pegawai tua yang kebingungan sekaligus mendadak merasa bersalah tanpa alasan karena seorang remaja asing memohon maaf kepadanya sambil menggigil ketakutan, entah-apa-sebabnya.
Sebelum si pegawai tua bahkan sempat bertanya, “Ada apa?”, Si Kucing Hitam sudah berlari kabur, meninggalkan pegawai tua yang khawatir nan bingung di belakangnya. Kabur, mengabaikan luka di betis-setengah-sembuh-nya yang kembali terbuka.
Rasa ngeri membanjiri tubuhnya. Dari dulu helaan napas artinya awal dari segala penderitaan. Dari dulu helaan napas artinya siksaan. Dari dulu helaan napas artinya ia akan dihukum karena kesalahannya adalah lahir ke dunia.
Sejak ia lahir dia sudah menjadi pembawa sial bagi Si Iblis. Bukan, bahkan ketika ia hidup di kandungan ibunya dia sudah dianggap kucing-hitam-pembawa-sial oleh Si Iblis. Iblis menjijikkan yang bahkan tak mau bertanggungjawab atas tindakan asusila yang ia lakukan.
Sang Kucing Hitam menggigil ketakutan ketika kilasan-kilasan kejadian yang tidak manusiawi itu terputar di benaknya. Semua kejadian yang dimulai dengan sebuah helaan napas yang remeh.
Bahkan ketika ia jauh dari Si Iblis, trauma yang ditorehkan cakar mengerikan itu masih menghantuinya.
Oh Tuhan. Apakah kelahirannya yang tidak diharapkan membuatnya menjadi bukan manusia? Memangnya siapa juga yang berharap lahir? Keberadaannya di dunia ini murni kesalahan pribadi Si Iblis. Mengapa pula dunia harus menghukum orang yang tidak bersalah?
Ah. Dunia ini memang tidak adil.
Si Kucing terengah. Luka terbuka di betisnya yang tidak pernah dirawat dengan benar mengeluarkan darah. Menolak untuk terus berjalan. Bahkan dua betis sialan itu juga ogah menopang tubuh yang tak tahu mau pergi ke mana itu.
Tubuh malangnya menghempas trotoar malam yang dingin. Tubuh malnutrisi itu membentur kerasnya trotoar yang menyambutnya dengan senang hati. Napasnya hangat, berbanding terbalik dengan dinginnya trotoar.
Seluruh luka di tubuhnya berdenyut-denyut menyakitkan. Kedua paru-parunya mulai enggan untuk melaksanakan tugasnya. Menyebabkan aktivitas bernapas terasa amat melelahkan.
Ah. Dia tidak ingin mati. Tapi rasanya ia sudah meregang nyawa. Luka di tubuhnya terus mengeluarkan darah sehingga empunya mulai anemia.
Ah. Dia tidak ingin mati. Tapi jiwanya yang lelah akan kehidupan rasanya ingin menyerah saja pada luka-luka ini.
Ah. Dia tidak ingin mati. Tapi apa benar begitu? Rasanya kematian lebih menyenangkan daripada hidup seperti ini.
Makhluk malang itu mati-matian berusaha bernapas. Ia
merasakan hangat tubuhnya perlahan-lahan menghilang. Mereka bilang sakaratul
maut rasanya amat menyakitkan. Tapi kalau dengan kematian ia bisa lepas dari
dunia yang penuh penderitaan ini, mengapa tidak?
Mungkin tangannya yang berbekas lilitan itu akan jadi hal terakhir yang akan dilihatnya. Dan itu tidak apa-apa. Ia akan menyambut kematian dengan tangan terbuka.
Cahaya matahari yang menerobos masuk ke ‘kandang’nya dulu warnanya tak pernah seperti ini. Begitu pula lampu remang yang tampak kepayahan untuk memancarkan cahaya yang dinyalakan ketika hari gelap dulu.
Cahaya yang kini masuk ke matanya warnanya putih. Tidak sesilau mentari tengah hari, namun cukup menusuk mata bila dipandang lama-lama.
Ini jelas bukan rumahnya.
Tapi agaknya ini bukan kehidupan selanjutnya, atau apa pun yang disebut ‘kehidupan usai kematian’. Karena rasa sakit di tubuhnya masih sama nyatanya seperti sebelumnya, meski rasa sakitnya lumayan berkurang.
Tubuhnya tidak lagi terbaring tak berdaya di jalanan malam yang dingin. Kini tubuh yang masih sama rapuh dan ringkihnya itu dibaringkan di atas sebuah alas yang jauh lebih nyaman dari lantai keramik tempat ia biasa tidur.
Mungkin malaikat pencabut nyawa memutuskan untuk tidak melanjutkan tugasnya dan memanggil malaikat penolong sebagai pengganti pelaksana tugasnya.
Dia ternyata masih belum boleh mati.
Sang Kucing Hitam menatap lengan dan tungkai kakinya. Seseorang merawatnya. Di dunia ini masih ada orang baik rupanya. Mungkin karena selama ini dia tinggal di neraka, ia melupakan keberadaan mereka.
“Oh–" seorang anak berdiri di depan pintu, membuyarkan pikiran-pikiran Sang Kucing. Mendapati Sang Kucing telah membuka mata, ia segera berlari memanggil kakaknya.
2 orang gadis datang ke ambang pintu sebagai akibat dari panggilan itu. Entah yang mana si kakak. Mungkin keduanya. Meskipun hal itu meragukan lantaran mereka berdua tak tampak mirip satu sama lain.
Seorang dari mereka yang tampak lebih tua berseri-seri
melihat Si Kucing sudah sadar. Ia menarik gadis satunya yang terlihat tidak berselera
untuk duduk di sisi ranjang Si Kucing yang, jujur saja, bingung.
“Aku senang kamu sudah bangun,” Si Kucing tersenyum sayu
sebagai balasan. Agaknya merekalah yang menolongnya.
Gadis itu berbicara tentang bagaimana ia ditemukan.
Seorang remaja sekarat di tengah malam. Dipikirnya ia salah satu peserta
tawuran. Sang Kucing hanya menggeleng lemah, menyangkal dugaan itu.
Beberapa lukanya bernanah, “Untung tidak perlu
diamputasi” katanya, mengucap syukur luka-luka yang pasti berbekas itu hanya
perlu dirawat dengan baik. Ah. Orang baik benar-benar masih ada rupanya.
Usai bicara, sang gadis pamit sebentar. Hendak
menyuguhkan ‘tamu’-nya makan malam. Ah, sudah berapa lama ia tidak makan malam
dengan layak, ya? Sejak usia berapa ia mencuri makanan persembahan untuk Dewa
agar bisa bertahan hidup? Apa sejak ibunya akhirnya menyerah pada siksaan yang
diberikan Sang Iblis pada wanita malang itu?
Gadis yang lain tetap tinggal di ruangan. Selama
percakapan tadi hanya diam merunduk, tak pernah berinisiatif untuk turut
bicara. Kesunyian canggung terus menyelimuti sampai sebuah pertanyaan memecah
hening.
“Kau mengecat rambutmu?”
Sang gadis buru-buru menutup puncak kepalanya dengan
tangan, sebelum akhirnya ragu-ragu mengangguk. Rambut yang berada di
sana menunjukkan warna asli rambutnya yang ganjil untuk
dimiliki seorang manusia. Sisa rambutnya dicat hitam untuk menyembunyikan warna
ganjil itu.
“Kenapa hitam?” tanya Sang Kucing, “Bukankah hitam itu
warna sial?”
“Eh?”
“Bukankah hal-hal berwarna hitam—seperti kucing hitam—
itu membawa sial?” Sang Kucing Hitam menelan ludah, bertahun-tahun ia dipanggil
‘Kucing Hitam’. Membawa sial.
“…Tidak? Setidaknya di tempatku kucing hitam dianggap pembawa untung,” kata si gadis, canggung, “mungkin hanya di tempatku saja, tapi aku lebih suka menganggapnya begitu.” ia meremas kedua tangannya selagi berbicara.
Gadis pertama kembali, memotong percakapan singkat
mereka, seraya menyerahkan makan malam pada Sang Kucing yang mengulurkan
tangannya untuk mengambilnya.
Dengan dua tangannya yang terbalut perban ia menerima
makanan itu.
Dengan dua tangannya yang penuh luka ia menerima
pemberian itu.
Dengan dua tangan yang digunakannya untuk merenggut nyawa
Sang Iblis ia menerima pemberian baik hati si gadis.
Hei, apakah dia pantas menerimanya? Apakah ia pantas untuk diselamatkan? Apakah ia pantas untuk sekedar hidup?
Yang jelas, dengan tangan yang penuh bekas luka dan
berlumur darah Sang Iblis ini, Tuhan masih memberinya waktu untuk melanjutkan
hidup.
Dan ia akan terus hidup. Meskipun ia harus hidup sebagai iblis setelah melakukan hal yang seharusnya tak boleh dilakukan oleh manusia itu.
Tamat
13.08.2019
Comments
Post a Comment